Makna dari presidential threshold di Indonesia dinilai sudah disalahpahami.
Anggota DPD RI, Fahira Idris mengatakan, presidential threshold yang lazim dipraktikkan negara-negara penganut sistem presidensial bukan untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang presiden.
“Indonesia menganut sistem presidensial, tetapi pemberlakuan ambang batas dilakukan di depan atau pada saat pencalonan presiden/wakil presiden. Ini kan sebuah keanehan yang nyata," kata Fahira Idris seperti dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (28/7).
Dalam keterangan tertulisnya, ia menambahkan, berbeda dengan penerapan di luar negeri, Fahira menilai presidential threshold di dalam negeri bahkan seakan sengaja disalahpahami.
"Ambang batas hanya dijadikan rule of game atau alat yang menentukan parpol mana saja yang boleh atau berhak mengusung Capres/Cawapresnya,” kritiknya.
Menurutnya, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang mengamanatkan pasangan Capres dan Cawapres dengan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara pemilu minimal 20 persen suara di setiap provinsi adalah praktik ambang batas yang dikehendaki konstitusi.
Artinya, penetapan 20 persen sebagai syarat atau ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden justru tidak mempunyai argumen yang jelas dan kuat dalam sistem presidensial dan di dalam konstitusi.
“Saya berharap teman-teman PKS saat persidangan nanti menjadikan argumen ini sebagai salah satu alasan kenapa PT 20 persen harus digugat," jelasnya dalam merespons gugatan yang dilayangkan PKS saat ini.